Rabu, 09 Mei 2012

Nirvana


Ia pun Merasa Perlu “Menemukan yang Tak Dilahirkan.”


Oleh : Muhammad Baran

Ada kisah yang termasyhur tentang Siddharta Gautama. Dia adalah putra makhkota Raja Suddhodhana dari kerajaan Kapilavastu. Istana, di sanalah hidupnya berawal mula. Para dayang adalah pelayannya yang setia mengabdi padanya. Hidupnya seperti di kahyangan, segala yang dibutuhkan ada di sana. Masa mudanya seakan tak tersentuh kekurangan. Demikian gambaran hidup Sidharta menurut cerita sejarah.

Bagi segelintir kita, mungkin kehidupan Sidharta adalah contoh atau gambarankehidupan yang sangat diidam-idamkan. Kehidupan di mana kadang kita jadikan takaran untuk mengukur dan menilai, setinggi apa pamor dan status sosial kita di mata sesama kita. Status sosial yang kerap dianggap sebagai prestise sekaligus prestasi yang mesti dibangga-banggakan. Kebanggaan yang pongah inilah yang tak jarang kemudian menciptakan jurang pemisah antara raja dan jelata, antara si kaya dan si papa. Padahal bila ada jurang yang memisah, yang ada hanyalah keterasingan dalam pergaulan, yang ada adalah ketakpedulian dalam hidup.

Namun tidak demikian dengan Sidharta, Sang Putra Mahkota itu. Ada hal yang kemudian total mengubah jalan dan sejarah hidup Sang Pangeran. Dan tak diduga, dalam sebuah perjalanan di luar istana, Siddharta melihat dunia yang selama ini tertutup darinya-dunia yang tak ia temukan dalam istana yang megah itu.Sang Pangeran melihat : seorang tua, seorang yang sakit, dan seorang yang mati. Ia terkejut dan tersadar. Ia kemudian merenung: ternyata manusia, termasuk dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan bila waktunya akan mati.
Bagi Sidharta, ternyata istana –dan barangkali dengan segala kesenangan, bukanlah dunia yang sebenarnya. Bukan dunia yang membuat manusia tetap muda, tetap sehat, dan tetap hidup. Dia mungki saja bertanya, sekiranya istana adalah dunia yang sesungguhnya, kenapa mesti ada yang sakit, menjadi tua dan akhirnya ada kematian? Dan bila setiap manusia mesti melewati setiap siklus yang telah digariskan itu, lalu untuk apa semua kemewahan jika akhirnya hanya untuk ditinggalkan?

“Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur Sang Pangeran kemudian. Sejak saat itu ia mencari jawab tentang kodrat; usia tua, sakit, kesediahan, dan ketakmurnian: keadaan yang tak mungkin dielakkan siapapun yang lahir ke dunia yang fana ini. Ia pun merasa perlu “menemukan yang tak dilahirkan.” Dan itu adalah puncak kedamain “Nirvana”.

Sampai di sini, kita barangkali memiliki kesimpulan yang sama dengan Sidharta-yang kemudian terkenal dengan Sang Budha itu- bahwa hidup kini di sini tak benar-benar murni, tak sungguh-sungguh abadi. Kita harus menemukan yang tak dilahirkan itu. Kehidupan yang dengannya, segala kelaliman dan ketakadilan dibalas setimpal, segala jerih payah terbayar lunas, juga segala derma bakti dan pengabdian yang tulus, kan beroleh cinta yang impas. (**)

0 komentar:

Posting Komentar