Kamis, 03 Mei 2012

Siti oh Siti


Fenomena Siti: Apa yang Besar Sebanarnya? Apa yang Kecil?



Oleh : Muhammad Baran

Beberapa hari yang lalu, saya dan salah seorang teman sedang asyik menonton TV di Sekretariat Lembaga Kemahasiswaan kampus kami. Sembari menenggak teh panas di gelas masing-masing sore itu, tangan teman saya sibuk memencet tombol remote control mencari kanal siaran TV.

Dia tiba-tiba berhenti di salah satu kanal TV yang tengah menayangkan  profil hidup seorang bocah perempuan yatim  yang masih sangat belia. Umurnya baru 7 tahun namun dia rela membagi waktu sekolah dan kerja demi membantu ibunya yang berprofesi sebagai buruh sawah untuk mencari nafkah. Saya dan teman saya tertarik dan semakin larut mengikuti jalan kisah hidup si bocah perempuan yang dramatis itu. Teman saya serius mengamati. Sesekali mengerutu sambil mengutuk. Dia kelihatan begitu emosional. Dia tak tega menyaksikan kenyataan hidup yang menimpa bocah perempuan itu.

Siti, demikian nama gadis kecil itu. Dengan berpakaian rapi, sembari  tangan mungilnya menenteng termos plastic yang berisi jajanan bakso, tangan kirinya menenteng ember hitam yang bereisi mangkuk dan peralatan untuk menyajikan jajanannya kepada pembeli. Dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya 4 jam sehari. Hal itu dia lakukan rutin setiap hari sepulang sekolah.  Bila dagangannya laku, Siti baru bisa pulang menyetor hasil yang didapatnya ke tetangga yang menggunakan jasanya. Dari hasil kerja kerasnya, Siti mendapat upah Rp2000.

Apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil? Uang Rp2000 bagi sebahagian kita mungkin adalah hal yang kecil. Bahkan bilangan sepuluh kali lipat bisa kita keluarkan hanya untuk belanja barang-barang impor bermerek luar negeri dengan tanpa sesal. Tapi Siti adalah orang kecil, dan orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering terlupakan oleh kebanyakan kita.

Tapi ada yang lebih memiluhkan lagi. Bila dagangannya tak semuanya laku, Siti hanya kebagian upah Rp1000 dari kerja kerasnya. Nilai yang teramat sangat kecil. Bahkan menurut cerita Guru mengajinya, karena mengetahui kehidupan Siti yang sangat sederhana itulah,  Sang guru memberikan keistimewaan kepadanya untuk tidak membayar biaya mengaji yang hanya Rp3000 sekali sebulan itu. Meski pendapatannya minim, Siti  mengaku bahagia bisa membantu sang ibu mencari nafkah.

Apa yang besar sebanarnya? Apa yang kecil? Seorang bocah perempuan yang baru berumur 7 tahun bagi Sang Ibu adalah hal yang besar. Dialah yang melengkapi kebahagiaan hidup Sang Ibu, membantunya mencari nafkah. Uang Rp2000 yang dikumpulkannya setiap hari untuk bisa mewujudkan mimpinya membeli sepatu baru, bagi Siti adalah hal yang besar. Sepasang sepatu untuk terus meneruskan sekolah guna menggapai cita-cita. Penderitaan manusia itu seperti ombak yang tak bisa dielakkan dari sejarah manusia.

Seperti masyarakat kebanyakan di negeri tercinta ini, Siti mungkin tidak terlalu tahu apa itu hidup berkelimpahan, apa itu gelimang harta, apa itu makan yang enak. Bahkan hanya untuk menonton acara lawakan aktris dan aktor favoritnya di TV, dia harus menumpang di rumah tetangganya. Sekali lagi apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil?

Siti kecil telah mencoba pahit getirnya menjalani hidup bersama Sang Ibu. Seperti yang dikatakannya, Ia bahagia bisa membantu ibunya mencari nafkah menyambung hidup, meski dengan penghasilan seadanya. Keinginannya tidak muluk-muluk. Satu-satunya impian Siti hanyalah memiliki sepatu baru agar tetap sekolah. Untuk itu sebahagian dari upah yang didapatnya, dia sisihkan untuk mewujudkan keinginannya memiliki sepatu baru itu.

Bocah perempuan itu telah mencoba menjalani hidup dengan bermodalkan semangat baja. Dia mengajarkan kita, bahwa hidup memang mesti dijalani meski dalam keterbatasan, tanpa perlu mengharap uluran tangan orang lain. Sikap dan pilihan hidup yang paradoks denga gaya hidup para pejabat dan pembesar di negeri tercinta ini. Di tengah himpitan ekonomi yang mendera rakyatnya, kebanyakan mereka justru mencari kesempatan dalam kesempitan untuk mengeruk uang rakyat demi kepentingan kroni dan koleganya.

Siti adalah salah satu potret kehidupan nyata masyarakat kecil di negeri ini. Masyarakat yang kerap luput dari perhatian dan peduli kita, terkhusus mereka yang dipercayakan untuk memanggul tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Dari potret kehidupan Siti inilah seharusnya kita bisa belajar untuk peduli. Bahwa tak selamanya kebahagiaan hidup hanya bisa direngkuh dengan uang  yang bertumpuk dan materi yang melimpah. Tapi kebahagiaan hidup bisa diraih dengan mensyukuri apa yang dikaruniakan Tuhan,  meskipun sedikit, dan tak lupa memiliki kepedulian sosial dengan menyisihkan sebahagian dari kelebihan rejeki untuk diberikan kepada sesama yang  kurang mampu. (**)

0 komentar:

Posting Komentar