Kamis, 03 Mei 2012

Selain Uang (1)


Tiada "Tuhan" Selain Uang (1)

Oleh : Muhammad Baran

Adalah manusiawi ketika kita punya impian ingin hidup bahagia dan membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Juga adalah manusiawi pula sekiranya kita gagal mewujudkan apa yang menjadi impian itu. Bukan berarti semua jalan sudah tertutup. Hanya barangkali kita dituntut mesti beriktiar lebih, selanjutnya kita mesti memiliki prasangka baik kepada Tuhan,dan tentu saja percaya kepada kemampuan sendiri. Toh selamanya kegagalan tak akan pernah bisa mengakhiri impian-impian itu.

Ada yang ingin kaya dengan punya banyak uang -mungkin uang baginya dianggap satu-satunya yang membawa bahagia. Dengan uang, apa saja yang diinginkan, semuanya tersedia. Dengan uang pula dia merasa bisa membeli apa saja-termasuk kekuasaan dan jabatan. Karena menganggap, dengan kuasa dan jabatan, kehormatan dan prestise pribadi terjaga dan tak terinjak harga dirinya.

Tapi apakah kebahagian dengan  memiliki uang yang banyak , pula kehormatan dan harga diri dengan jabatan yang digenggam, cukupkah menjadi jaminan pasti bahwa kita benar-benar mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan itu? Jawabannya mungkin “ya” tapi mungkin juga “tidak” tergantung dari niat dan nasib kita. Di sini iktiar dan doa menunjukkan keampuhannya.

Betapa banyak realita yang menjadi bukti, uang bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan-meski tak bisa dipungkiri, uang memainkan peranan penting dalam sistem ekonomi transaksional. Uang adalah raja-demikian kata sebahagian orang. Tak kita sadari bahwa manusialah Maharaja, karena uang adalah semata alat tukar yang diciptakan manusia sebagai ikhtiar melakukan praktik jual-beli.

Pahaman yang mengkultuskan (menuhankan) uang inilah yang kerap menjerumuskan manusia.  Maka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, menjadi pilihan. Dalam dunia perpolitikkan misalnya, ada politik uang. Artinya ada transaksi (ijab-kabul) bagi-bagi kue kekuasaan, dengan uang sebagai mahar (pelicin) transaksi. Maka tak mengherankan jika kebohongan  atau dusta misalnya menjadi hal lumrah dalam percaturan politik-termasuk bidang-bidang lain yang belum terendus. Politik transaksional ini belakangan menjadi marak diberitakan di berbagai media. Dan kita sebagai wong cilikhanya kebagian turut berprihatin riah, ketika satu persatu petinggi di negeri tercinta ini terjerat uang dan kuasa. Betapa ironis.

Kalau sudah demikian, hidup menjadi serba hedonistic-menjadikan materi tujuan akhir hidup. Jika sudah demikian, tak mengherankan bila rasa empati dan kepedulian kepada sesama menjadi terabaikan. Kebersamaan dan keutuhan sebagai bangsa, pun turut terabaikan, mana kala uang menjadi ukuran dalam menjalin relasi pertemanan atau perkawanan. (**)

0 komentar:

Posting Komentar