Senin, 05 Agustus 2013

Embun di Pagi Idul Fitri

Menuju Kejernihan Embun di Pagi Idul Fitri*

Oleh Hamba Moehammad


Korupsi , berdebat dengan kata-kata keras, menghina-termasuk melakukan aksi atau serangan fisik-entah itu dengan mengejek kondisi tubuh lawan debat, melempar benda atau minuman-semua itu dilakukan di muka umum- apalagi itu dalam sebuah siaran televisi nasional adalah hal lumrah di negeri ini. Kita seperti sedang memamerkan kekuatan yang kita anggap sebagai kekuasaan. Tentu saja apa yang diilakukan itu adalah sebuah bentuk penghinaan kepada kecerdasan,  pikiran sehat,  atau intelektualitas, bahkan agama jika kita mengidentikkan diri dengan lembaga atau gelar keagamaan.

Bila ada seorang anak yang cukup umur membunuh ibu kandungnya sendiri hanya karena tidak dibelikan telepon genggam,  bila ada seorang ayah yang menyetubuhi anak kandungnya sendiri hingga hamil, bila ada seorang ibu membuang bayinya sendiri dengan tas plastiknya di kebun hingga ia dirubung  begitu banyak semut,  bila ada koruptor bangga dan dihormati tetangga karena sering menyumbang mesjid dan kegiatan sosial. Sebenarnya semua laku itu hanyalah sebentuk penghinaan secara sengaja pada semua tertib, adat-tradisi, agama, dan akhirnya diri kita sendiri.

Di tingkat mental dan spiritual apa, di tingkat kecerdasan intelektual mana sebenarnya kita, bangsa ini, berada? atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat, apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa ini, yang belum lagi genap satu abad usianya? Masih begitu pendek umurnya dari pada bangsa-bangsa besar lain, tetapi begitu degil perbuatannya, juga ketidakpedulian yang akut bahkan terhadap harkat dan martabat dirinya kita sendiri. Yah, mengapa? Tentu ini sebuah pertanyaan yang sangat besar.

Apa yang terjadi di negeri ini dalam tiga dekade  terakhir, sekurangnya, seperti dapat kita lihat dan rasakan, adalah diserangnya pertahanan kulturan (agama, adat, etika, dan hukum) oleh sebuah tsunami kebudayaan  yang membonceng atau diboncengkan  pada arus besar globalisasi berupa tsunami  logika yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir oksidental, sebagai cara/mekanisme berpikir yang positivis progresif, materialistis, dan pragmatis. Hal ini kemudian berkembang biak menjadi produk-produk logosentrisme ala Renaisans dan Aufklarung, dalam bentuk yang kemudian sistemik seperti demokrasi, kapitalisme, dan pasar bebas, hingga berujung pada terjadinya tsunami psikologis bahkan spiritual, dimana kita didesak, dipaksa (tanpa kita sadari) dan menerima dengan ikhlas sebagai sesuatu yang take for granted, kondisi mental yang akomodatif, permisif, bahkan konsumtif pada produk akhir dari sistem-sistem di atas.

Demokrasi dan kapitalisme, juga Hak Asasi Manusia (HAM) yang digembar-gemborkan itu, bukan lagi sebuah ketelanjuran yang kita terima, melainkan telah menjadi (atau kita anggap) prakondisi bagi tegaknya kemanusiaan atau eksistensi kita. Kita adalah pemamah biak yang baik dan penurut  dari semua sistem global saat ini. Tiap hari kita mengonsumsinya di meja makan, di jalan,  di restoran cepat saji, di ruang kantor, istana,  hingga tepi sawah dan hutan-hutan desa. Kita menerima semua itu tanpa keluh dan kesah, wajar seperti kita berkeringat dan buang angin. Keringat dan angin, bahkan darah  yang kita kucurkan  untuk semua sistem di atas, hanya untuk imbalan yang kemudian kita tukar dengan tawaran produk yang berganti jenis dan tipe setiap bulan bahkan tiap minggu itu.

Maka apa yang terjadi pada paparan pendek di atas, terjadilah. Dengan semua kenyataan itu, kita telah menyerahkan diri bulat-bulat pada sebuah permainan, pada sebuat realita ilusi yang tidak kita kuasai, bahkan tidak kita pahami. Jangankan pedagang kaki lima yang berjuang menyisihkan labanya untuk membeli blackberry atau TV layar datar, bahkan seorang presiden pun mungkin tidak mengerti mengapa sebuah kampung Sunni mengusir sesama warganya hanya karena mereka Syiah.

Mungkin presiden pun tak mengerti kenapa ia memperoleh penghargaan internasional untuk toleransi; tidak mengerti mengapa negara yang serba salah urus ini masih bisa tumbuh  lebih dari 6 persen; bahkan mungkin tidak mengerti mengapa harga cabai hingga jengkol melonjak luar biasa. Ia pun ternyata tidak mengerti  mengapa kabar bencana lebih cepat ia terima dari media massa/sosial ketimbang aparatus yang ratusan ribu itu.

Air mata Tobat

Apa yang terjadi saat ini, tampaknya bangsa kita  tidak sedang mengijuti zaman, tapi kita terseret arus zaman. Seperti pesakitan atau jagoan yang seluruh kekuatan dan kekebalannya berhasil dilumpuhkan . Semua itu terjadi ketika seorang manusia Indonesia memasuki wilayah psikis dan fisik bernama remaja.  Tepatnya setelah ia  mengalami sejumlah pendidikan dan mendapat pengaruh moderenitas sedemikian rupa dari pergaulan lingkungan yang katanya maju dan moderen itu.

Saat dia memasuki dunia riil, nyata-nyata, sontak-sadar atau atau tidak-ia mendapatkan dirinya sudah kecemplung dalam sebuah sistem: semacam sarang laba-laba yang tak  memberinya peluang melepaskan diri. Sebagai anak muda, ia tak dapat berbuat, bahkan tak berkata apa-apa, kecuali mengikuti logika dan cara kerja sistem yang kapitalis itu, hanya agar survive. Lalu berfoya-foya menggadaikan nafsunya jika ia ingin dikenal dan dipandang. Menjadi budak nafsunya untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan "sukses".

Kita: saya, anda, dan yang lainnya harus tersenyum, karena-tentu-sebagian  dari kita menolak konstatasi itu. Namun coba tengoklah kedalam cermin, dan jujurlah seluruh indra, pikiran,  dan hati kita: apa yang terlihat? Air mata! Kita akan menangis melihat diri kita sendiri yang sudah kita zalimi ini, yang sudah kita hina sepanjang usia ini.

Sampai bilakah air mata itu bergulir,  hingga menjadi arus dan sungai ke samudra air mata-Nya? Dalam bulan suci ini, jadikanlah air mata itu sebagai bekal tobat. Memerangi nafsu adalah memerangi diri sendiri. Itulah jihad terbesar yang kita lakukan dalam  puasa,  terlebih dalam Ramadhan ini. Dan, berubahlah, mulai dari cara berpikir kita dengan kembali kepada kearifan, perangkat lunak dalam adat, agama, hukum dan segenap kearifan lokal yang kita miliki sebagai bangsa indonesia. Perubahan itulah yang akan menghapus air mata kita. Sekaligus mengangkat harkat yang telah kita hina, menuju kejernihan embun di pagi Idul Fitri nanti. (**)
============================
*
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan seorang Budayawan, Radhadar Panca Dahana yang berjudul "Menipu Diri Sendiri

0 komentar:

Posting Komentar