Selasa, 10 Juli 2012

Duta Tuhan

Mari Merenung Sejenak
Kiata adalah Duta Tuhan

Oleh : Muhammad Baran

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
 Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya….

Saya teringat dengan hikayat Zu al- Nun , seorang sufi kenamaan dari persia.  Suatu hari berlayarlah Zu al-Nun  dengan serombongan muridnya dengan  sebuah kapal di sungai Nil. Tak lama sebuah perahu mendekat, dipenuhi dengan  orang-orang yang sedang berpesta dan mabuk-mabukan. Perbuatan mereka membuat risih murid murid Sang Sufi. Mereka meminta Zu al-Nun untuk berdo’a kepada Tuhan agar kapal penuh maksiat itu ditenggelamkan saja. Zu-al Nun pun menyetujui permintaan murid-murudnya dengan  menadahkan tangan seraya berdo’a: “Ya Tuhan, karena Engkau memberi  orang-orang ini kesenangan hidup di dunia ini, maka berikan juga  mereka  kesenamgan hidup di akhirat kelak,” Murid murid itu seketika terkejut mendengar doa guru agung mereka. Mestinya doa  kutukan yang diserukan, tapi malahan do’a keselamatan. Suasana hati murid murid sang sufi  bercampur aduk  atas apa yang baru saja dilakukan  guru agung mereka.
Ketika kapal tersebut semakin dekat dan para pemabuk dan tukang maksiat  itu melihat Zul al-Nun, tiba tiba saja mereka menangis  dan merintihkan penyesalan atas kekhilafannya, dan membuang barang barang hasil rampasannya dan bertaubat kepada Allah. Zul al-Nun menengok kepada murid muridnya yang belum sepenuhnya bisa  menghapus kebingungannya dan berkata: “Kehidupan yang nikmat di akhirat kelak  adalah pertaubatan di dunia ini. Kalian dan mereka  semuanya puas dengan tanpa  menyakiti siapa pun”
Demikian  sang sufi berbuat dengan landasan  belas kasih yang amat mendalam  kepada sesama, mengikuti  teladan Nabi yang meskipun mendapat perlakuan buruk dari orang-orang Qurais, beliau tak pernah berhenti  untuk mengatakan: “Ya Tuhan berilah petunjuk kepada kaumku. Mereka memperlakukanku seperti ini hanya disebabkan karena mereka belum tahu.”
Sungguh luar biasa kearifan  Zu al-Nun. Kita yang kerap mengaku sebagai orang yang beriman mestinya berusaha sekuat-kuatnya  agar bisa berbuat arif sepertinya. Kearifan yang tidak hanya didasarkan atas rasa takwa kepada Tuhan, tapi juga berusaha membumikan pesan suci Ilahi dengan menebar benih kasih sayang agar menjadi rahamat semesta alam. Manusialah yang mengemban amanat suci sebagai duta besar (khaifah) Tuhan di muka bumi ini.
Sebagai Duta Besar , manusia sejatinya menjadikan para Nabi dan orang-orang saleh sebagai suri teladan yang agung di tengah pemahaman keagamaan segelintir kita yang cenderung terdegradasi. Dimana agama terkadang hanya dijadika alat bedah untuk melegitimasi malpraktik  klaim kebenaran ekslusif segelintir umat. Kebenaran kini dianggap menjadi hak preoregatif agama tertentu dan memandang agama lain hanyalah sekte sempalan yang tidak hanya sesat, tapi juga-katanya-menyesatkan. Sebuah ironi di tengah upaya menumbuhkan rasa saling percaya dan menghargai perbedaan. Sikap arogan inilah yang kerap  menjadikan wajah agama yang  teduh dengan kedamaian  berlumur  noda.
Agaknya sebagai aktor  dalam drama kehidupan ini, kita mesti kembali memperbaiki akting  keberagamaan kita yang terlanjur terpuruk citranya di mata pemirsa-yang mungkin semakin muak dengan adegan kekerasan yang  selama ini ditontonnya. Dampak dari arogansi dan pengklaiman kebenaran -apalagi dilakukan dengan cara intoleran- menjadikan  kehidupan damai yang dicita citakan semakin jauh dari kenyataan. Kerukunan antar umat beragama kini berada pada titik yang teramat nadir. Tidak hanya skala nasional tapi juga skala internasional.
Manusia sebagai hamba Tuhan, sejatinya memahami bahwa eksistensi keberadaan mereka  adalah hanya berbakti kepada- Nya, termasuk menjalin ukhuwa dalam menciptakan kebersamaan demi sepotong kedamaian yang terancam punah itu. Satu hal yang perlu dicatat adalah sebuah ungkapan bijak yang mengatakan: “Jangan pernah kamu merasa diri  yang paling benar dan suci, karena Tuhan maha tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sebagai bahan refleksi atas sepak terjang kehidupan kita di dunia ini, saya mengajak pembaca untuk  sejenak merenungi, sudah sejauh mana sikap tulus menerima perbedaan bermasyarakat di tengah gelombang ujian yang kerap menerpa masyarakat bangsa ini? Bangsa yang dikaruniai Tuhan dengan kemajemukan tradisi dan budaya masyarakatnya. Kemajemukan ini sejatinya dijadikan aset berharga untuk belajar dewasa dan saling menghargai-sepelik apapun perbedaan itu. Bukankah pelangi akan nampak elok bila aneka warna bersanding mesra?
Akhirnya mari coba kita maknai sebuah puisi indah karya  salah seorang budayawan negeri ini, Emha Ainun Najib yang akrab dikenal dengan Cak Nun. Puisi ini kiranya mewakili perasaan kebersamaan  kita sebagai bangsa yang merindukan kedamaian yang menjadi cita-cita hidup segenap masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Tahajjud Cintaku

 Mahaanggun Tuhan  yang menciptakan hanya kebaikan
 Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
 Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
 Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
 Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
 Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya  tak dipelihara
 Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
 Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
 Ke  mana  pun memandang  yang tampak ialah kebenaran
 Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
 Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
 Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
 Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
Emha Ainun Najib
1988

0 komentar:

Posting Komentar