Sabtu, 30 November 2013

Manivesto*

Oleh : Muhammad Baran

Hidup ini-menurut Justin Garder-adalah teka teki. Pun eksistensi kita, juga adalah teka teki. Dan karena dia menjadi teka teki, maka barangkali separuhnya, bahkan mungkin sepenuhnya- adalah menjadi misteri. Misteri yang entah sampai kapan terus menjadi misteri.

Siapakah yang sanggup menerka akhir perjalanan edar kosmos  ini? Bahkan siapakah yang bisa menjamin bahwa matahari akan  tetap terbit esok pagi? Jawabannya adalah “tiada” dan memang tak akan ada. Semuanya apik tercatat dan tersimpan rahasia di lauhmahfudz. Kitab catatan misterius itu.

Nafas yang berembus gelisah, akan sekejap diam bila memang waktunya dia berhenti. Denyut jantung yang berdegup resah, akan seketika senyap bila jatah waktunya berdenyut telah usai. Begitu juga semesta ini, tak bisa diduga sampai kapan dia tetap setia di garis edarnya.Semesta sepenuhnya memang menyimpan rahasianya sendiri. Kita dan juga hidup yang sementara kita arungi ini adalah teka teki yang tak terterka siapa pun jua.

Kita dilahirkan oleh sebuah anima (ruh) yang misterius, wujud hakiki  yang tak sepenuhnya kita kenal dengan benar. Dan ketika teka teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat dipecahkan, maka itulah giliran kita. Kita mencoba menguak -dengan kemampuan yang sebenarnya terbatas- dan berharap, di sudut lorong asing ini ada sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk.

Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, maka itulah kita. Itulah kita, yang dengan “kedaifan” iman kita, tak sepenuhnya mampu menemukan definisi yang tepat tentang misteri, apalagi dengan pongah ingin menguaknya. Sekali lagi kita dan juga hidup yang telah dilewati separu jalan ini, mungkin memang sepenuhnya adalah misteri bagi kita.

Sekali lagi kita adalah  teka teki yang terterka siapa pun. Akan halnya cerita dongeng atau legenda, kita selamanya terperangkap dalam khayalan sendiri. Kita bahkan mungkin tak pernah benar-benar sadar dan tahu bahwa yang pernah ada (yang dapat di lihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya) pada akhirnya tiada-meski bersumber dari yang Maha Ada. Kita benar-benar adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian yang tuntas.

Hingga ketika kita tiada (mati)-dimana yang pernah ada tak lagi dapat dilihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya)- maka saat adegan-adegan yang terekam dalam pita seluloid dan dekor panggung pementasan telah dilepas dan dibakar, maka tak lain kita hanyalah arwah yang hanya tinggal dalam sisa ingatan keturunan kita. Dan selebihnya kita adalah hantu-hantu yang bergentayangan dan berakhir sebagai mitos dalam sejarah.(**)


*Tulisan ini terinspirasi dari dua novel  filsafat: Dunia Shopie dan Maya: Misteri Dunia dan Cinta, karya Justin Garder.

0 komentar:

Posting Komentar