Minggu, 17 November 2013

Tuhan Dalam Khayalan Kita*



rasifirdani.blogspot.com
Oleh Hamba Moehammad

Terkadang saya tersenyum geli bila mendengar perdebatan teman-teman mahasiswa  atau membaca aneka tulisan yang memperdebatkan dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Dan mungkin seperti saya, Tuhan  pun tersenyum sumringah bahkan tertawa lebar akan tingkah konyol kita para  hamba-Nya yang ribut memperdebatkan-Nya dan sibuk menulis tentang eksistensi-Nya.

Meski secara pribadi saya bukanlah termasuk hamba-Nya yang taat dan penganut agama-Nya yang fanatik (saya bersyukur meski kerap lalai menjalankan perintah-Nya, tapi saya masih percaya pada-Nya hingga saat ini. hehehe), namun terkadang saya miris hati bila ada pertanyaan-pertanyaan konyol dalam perdebatan yang saya anggap cederung menghina dan melecehkan wibawa Tuhan. 

Para pendebat ini seakan-akan menggugat Tuhan yang mengklaim diri sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahasegala, Mahasempurna dan Maha-maha yang lainnya. Menurut mereka, Tuhan justru sebaliknya. Hal itu diperkuat dengan argumen dari pertanyaan-pertanyaan mereka yang terkesan logis dan ilmiah.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dapatkan di antaranya: Jika Tuhan memang Mahaperkasa, bisakah Tuhan menciptakan batu yang sangat besar dan berat sehingga Tuhan sendiri  pun tak sanggup mengangkatnya? Atau pertanyaan, ika memang Tuhan itu Mahakuasa, sanggupkah Tuhan menciptakan sebuah tombak yang paling tajam yang bisa menembus perisai yang paling ampuh, dan sanggupkah Tuhan menciptakan sebuah perisai yang paling ampuh yang tidak bisa ditembus oleh mata tombak yang paling tajam sekalipun? Dan masih banyak pertanyaan dilematis lainnya

Sepintas, pertanyaan-pertanyaan di atas terkesan cerdas dan logis. Bagi mereka yang berpikir dengan hanya  mengandalkan logika semata, mereka akan tertumbuk pada pertanyaan itu sendiri dan mesti merenung dalam-dalam untuk mencari dan menemukan jawabannya.

Saya tak tahu motif dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apakah pertanyaan-pertanyaan murni dengan niat untuk melatih berpikir kritis dalam berdialektika, atau hanya sekadar menguji kadar intelektual lawan debat atau sekadar ingin terlihat intelek di mata sesama teman debat atau memang dengan niat benar-benaar ingin menggugat eksistensi Tuhan. 

Saya teringat salah seorang junior saya di kampus yang saya kenal taat beribadah pernah tersungut-sungut datang menemui saya. Dia marah-mara, dan jengkel karena merasa disesatkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas oleh para seniornya di salah satu kegiatan organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. Cukup prihatin dan kasihan juga juga saya melihat ekspresi junior saya yang masih polos dan rada-rada lugu ini. Maklum, selain masih mahasiswa baru (maba), dia juga orang baru, baru dari kampung dan masih botak-botak pula.

Sepertinya junior saya ini (mungkin karena baru dari kampung) tak sudi Tuhan yang diimani dan ditaatinya selama ini, dihina dan dilecehkan. Makanya dia ingin mencari jawaban untuk mematahkan argumentasi konyol para seniornya itu. Namun saya hanya mengatakan, barangkali maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya untuk memancing nalar kritis kita agar senantiasa berpikir kritis, tidak menerima mentah-mentah setiap argumen dan pendapat.

Tapi jika pertanyaan-pertanyaan di atas, motifnya menggugat eksistensi Tuhan, maka perlu bahkan harus diluruskan. Pertama yanng mesti diluruskan adalah pemaknaan kita akan kata "maha" yang dilekatkan pada Tuhan. Dalam berbagai literatur keagamaan, kata "maha" memiliki beberapa sebutan di antarannya, "Sang" (Sang Hyang Widhi-dalam bahasa hindi/urdhu-Hindu), "al" (al-Malik-dalam bahasa arab-Islam), "the" (The Lord-dalam bahasa inggris-Kristen) d.l.l. 

Semua kata "maha" dalam contoh di atas memiliki makna yang sama yaitu yang paling, yang super, yang ter-dan entah apa lagi standar kata dan bahasa yang bisa kita gunakan untuk mendefinisikan kemahaan-Nya. Maha-menjadi kata yang paling tidak, bisa mewakili segenap penggambaran kita terhadap kuasa-Nya. Karena tak ada yang setara atau serupa (dalam hal apapun) dengan Dia. Tuhanlah tempat bergantung segala asa dan  hajat makhluk, tempat berharap pertolongan, muara segala tujuan. Demikian simpulan yang termaktub dalam kitab suci-Nya.

Dalam ilmu matematika, kata "maha"  bisa disebut dengan sesuatu yang  "tak terhingga". Dengan demikian Tuhan itu tak terdefinisikan. Dia tak terpermanai. Dia tak sanggup dijangkau oleh akal yang butut dan logika material yang buntu. Karena Tuhan tak menempati ruang dan waktu, pula tak tercipta dari materi (apa pun bentuk dan unsur dari materi itu). Dia tak terdiri dari unsur, senyawa, campuran dan entah apalah itu. Intinya Tuhan tak tercipta dari materi, ruang dan waktu yang terbaras ini. 

Pola Pikir yang Masih Manual

Kedua, kita harus meluruskan kembali cara atau pola berpikir kita, terutama cara berpikir kita tentang Tuhan. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan perdebatan di atas, muncul lantaran pola pikir kita yang masih manual. Kita menganggap (lebih tepatnya menghayal) bahwa mekanisme atau cara kerja Tuhan sama seperti mekanisme atau tata kerja makhluk, khususnya cara kerja manusia. Dan ironisnya, kita membayangkan cara kerja Tuhan itu seperti cara kerja bapak-bapak kita di rumah. Bahkan mungkin kita berpikir, Tuhan pun berperilaku layaknya bapak-bapak kita berperilaku  sehari-hari di rumah. Mungkin dalam pikiran kita, Tuhan itu memiliki otot-otot kekar dan liat yang bisa mengangkat beban yang berat seperti batu dan pekerjaan manusiawi lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas selain sia-sia, juga bila ditelisik lebih mendalam tidaklah sepenuhnya logis. Pertanyaan pertama tentang sanggupkan tuhan menciptakan batu yang Dia sendiri tak sanggup mengangkatnya, bisa dipatahkan dengan memahami kembali definisi dari kata "maha". Jika Tuhan itu "maha" maka perbuatan menciptakan batu yang tidak bisa diangkatnya sendiri adalah perbuatan sia-sia, konyol dan menghina Tuhan. Jika hanya menciptakan sesuatu yang tak bisa dipikulnya, manusia pun bisa menciptakan bangunan atau lemari yang dia sendiri tidak bisa memikulnya atau menggotongnya seorang diri. 

Pertanyaan kedua tentang tombak dan perisai bisa dijawab dengan rumus matematika sederhana yang pernah saya perlajari waktu kecil dulu di Sekolah Dasar Inpres Luki (di kampung saya, Labala-Lembata NTT) yaitu menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat positif (+) dan bilangan bulat negatif (-). Misalnya, bila kita mengurangi jumlah bilangan yang sama misalnya 5 maka hasil pengurangannya akan kembali menjadi nol (0). Sama saja kita menyuruh seseorang maju 5  langka ke depan kemudian menyuruhnya mundur lima langkah ke belakang, maka dia akan kembali ke posisinya semula. Sama saja anda menyuruh orang itu tidak melangkah, tidak bergerak kemana-mana, tetap ditemnpat. Hal yang sama juga terjadi pada pertanyaan-pertanyaan yang diperdebatkan di atas. 

Jadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bukan sanggup atau tidaknya Tuhan menciptakan batu, perisai dan tombak itu. Tapi jawabannya adalah "tidak ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas" alias pertanyaan-pertanyaan di atas tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah omong kosong, bodoh. dan hanya mempermain-mainkan Tuhan. 

Ketiga, saran saya, bila kita ingin menggambarkan atau melogika eksistensi Tuhan, maka kita harus keluar dari kungkungan materi, ruang dan waktu yang fana ini. Maksud saya kita  harus berada di alam lain. Karena selama kita masih terkungkung materi, ruang dan waktu, maka selamanya kita mempersepsikan Tuhan itu seperti materi, seperti makhluk yang memang terdiri dari materi, ruang dan waktu. Tidak bisa tidak.

Menurut saya, manusia yang hanya semata berpikir logis dengan logikanya (apa lagi ingin melogika Tuhan yang tak bisa terlogikakan),  adalah manusia primitif, yaitu manusia yang belum mencapai taraf kematangan psikologis dan spiritual sebagai insan. Insan yang saya maksudkan adalah manusia yang berpikir atau berlogika tidak hanya mengandalkan potensi akal jasmaninya saja, tapi juga melibatkan semua potensi yang ada pada dirinya, baik jasmani maupun rohani.

Manusia yang hanya berpikir dengan mengandalkan logika atau akal semata sebenarnya mereka  baru mencapai  taraf perkembangan evolusi berpikir sebagai homosapiens (manusia cerdas dengan semata mengandalkan  logika). Jika demikian, pada taraf ini kita  baru dikatakan binatang yang berpikir. Kita masih butuh waktu yang lama untuk mencapai taraf puncak berpikir sebagai insan kamil yaitu tingkatan berpikir yang sudah memiliki taraf perkembangan psikologis dan spiritual yang matang.

Akal dan segala kemampuan yang kita miliki tak cukup memberikan penggambaran tentang  Tuhan secara holistic. Maka sekadar membayangkan, apa lagi menganggap Tuhan berperilaku atau berbuat seperti layaknya makhluk, itu merupakan pola pikir yang teramat absurd dan sebuah konsep yang teramat konyol. Kita bukannya memuji Tuhan atas segenap kebesaran dan kuasanya, tapi kita malah menghina dan merendahkan-Nya. Siapa sih kita ini, sehingga begitu berani dan lancangnya kepada Tuhan Sang penguasa dan pencipta semesta, termasuk kita manusia yang tidak tahu diri dan tidak tahu adab dan sopan santun ini? Yah siapasih kita?

Mungkin satu-satunya pintu masuk menuju pemahaman kita akan kemahaan-Nya hanyalah dengan pendekatan iman. Iman yang senantiasa mencari dan menemukan eksistensi-Nya sampai ke batas yang tak kita sanggupi lagi. Memang, selalu ada yang tak sempurna di semesta jagad raya ini, kecuali Dia. Yah Dia.(**)

Makassar , 18 November 2013 

*Tulisan ini hanyalah persepsi penulis sendiri. Tidak harus diikuti.

Tulisan terkait: http://www.catatan-hambamoe.blogspot.com/2012/03/maha-oleh-muhammad-baran-tuhan-adalah.html 

0 komentar:

Posting Komentar