Sabtu, 30 November 2013

Potensio

Oleh Muhammad Baran

Manusia adalah manusia. Dia bukan malaikat yang seluruhnya patuh dan lurus semata. Karena Yang lurus dan yang patuh  mungkin tak sepenuhnya hadir di dunia ini. Di sini, “hadir”  berbeda dengan  “ada”. Yang ada tanpa perlu dihadirkan, pun dia telah ada. Yang hadir, semata karena dia sepenuhnya diper-ada-kan.

Manusia bukan pula iblis yang selamanya terkutuk semata. Yang terkutuk barangkali kesombongannya.-bukan peng-ingkar-an. Di sini pula ada beda  antara “sombong” dan “ingkar”. Kesombongan hanyalah reaksi protes-dia protes karena prasangka-eksistensinya lebih mulia dari pada manusia- sebagaimana kisah dalam kitab suci. Sedangkan ingkar lebih kepada ketakpercayaan akan eksistensi Tuhan-dan iblis tak berada dalam posisi ini. Dengan demikian sebenarnya iman iblis masih utuh untuk Tuhan dan dia tak meragukan itu. Sama dengan manusia-termasuk malaikat-iblis tak menemukan Tuhan yang lain. Dengan demikaian, dia tak punya Tuhan yang lain.

Manusia adalah manusia. Tak ada ke-baik-kan yang mutlak padanya, juga tak ada ke-jahat-an yang utuh padanya. Yang mutlak dan utuh barangkali hanyalah imannya kepada Tuhan. Iman yang diikatkan dalam janji ketika manusia memberi kesaksian sebelum dilahirkan ke dunia ini. Janji yang dengannya manusia beriktiar menemukan jalan kembali kepada-Nya suatu hari kelak jika hendak jumpa dengan Dia.

Dengan demikian, sejatinya tak ada manusia yang benar-benar baik. Juga tak ada manusia yang sungguh-sungguh jahat. Yang ada hanyalah potensi. Terserah pada manusia mengarahkan potensi itu. Ke jalan yang diridhai-Nya, atau jalan yang lain. Tentu berdasarkan pertimbangan akal dan nurani yang dibekalkan Tuhan kepadanya.

Tapi bukankah ada termaktub dalam kitab suci, “Telah kami cipta manusia dengan sebaik-baik bentuk”-yang artinya manusia adalah ciptaan pilihan dari ciptaan-ciptaan yang lain-termasuk malaikat dan iblis? Jawabannya bisa “ya”, tapi bisa juga “tidak” tergantung-sekali lagi-kemana dia mengarahkan potensi yang dibekalkan Tuhan itu.

Manusia bisa menjadi lebih baik –bahkan melebihi ciptaan lainnya-manakala dia memberdayakan potensi “baik” yang ada padanya. Demikian sebaliknya dia menjadi terhinakan manakala yang “jahat” menjadi pilihan lakunya.

Selamanya mungkin antara yang “baik” dan yang “jahat” menjadi samar-samar, dan tak benar-benar bisa dibedakan-karena keduanya adalah pilihan laku yang sama sekali tipis bedanya, bahkan abu-abu, dan selebihnya kabur.

 Lagi dan lagi, tak ada yang benar-benar baik, pula tak ada yang sungguh-sungguh jahat. Sebab yang “baik” bisa berpotensi menjadi petunjuk kapada yang “jahat”. Begitu pula sebaliknya yang “jahat” bisa berpotensi menjadi petunjuk kepada yang “baik”.

Mungkin itulah barangkali Tuhan dengan ke-adil-an , ke-bijaksana-an, dan kasih sayang-Nya, menyediakan taubat sebagai fasilitas untuk manusia kembali menemukan jalan yang diinginkan-Nya.  Karena Tuhan barangkali tak ingin hamba-Nya terlihat hina dengan pilihan jalannya sendiri.

Keadilan adala timbangan Tuhan untuk menimbang yang “baik” dan “jahat”. Karena yang terang dan jelas hanyalah Dia. Sayangnya, terkadang kita tak menggunakan timbangan yang sama untuk menimbang dengan pasti, mana yang benar-benar “baik” dan mana yang sungguh-sungguh “jahat”.  Bahkan kerap kita menjadikan “kedaifan” sebagai dalih untuk “khilaf” berlaku adil dan menegakkan ke-adil-an-Nya. Bukankah Dia sudah mengatakan, “Berlaku adil-lah. Karena adil itu lebih dekat kepada Takwa?” (**)

0 komentar:

Posting Komentar