Sabtu, 30 November 2013

Maut

Oleh Muhammad Baran

Semua manusia akan bersua maut. Lalu untuk apa ada tangis air mata?

Teringat sebuahadegan film local (sayalupajudulfilmnya) yang mengisahkan kepahlawanan seorang pendekar wanita tua yang berusaha menolongs ebuah keluarga yang dirampok di tengah hutan.Dalam adegan itu sang pendekar tua akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh musuhnya yang kemudian pergi membawa hasil jarahan. Muridnya yang terlambat menolong, hanya bisa menangisi sang guru yang tengah sekarat itu.

Sebelum maut merenggutnya, ada pesan yang disampaikannya kepada sang murid dan pesan itu selalu terngiang: “Anakku, usa kautangisi aku. Simpan air matamu itu untuk mereka yang membutuhkannya. Mereka yang tertindas kelaliman.Toh semua orang akan mati tapi sampai kapan kelaliman ini berhenti dan siapa yang tinggal untuk menghentikannya?.“Sang Guru pun kemudian mengembuskan nafas terakhir dengan sunggingan senyum.

Begitu indah, teduh, damai kesudahanya dan juga mengharukan tentunya. Maut baginya adalah kebahagiaan, dimana sebagai manusia, ia mampu menjalankan tugas kemanusiaannya sebatas mampu dan sanggupnya.  Kebahagiaan dimana sebagai manusia, ia juga akhirnya terbebas purna dari kezaliman dan tindakan menzalimi sesame dan semesta.

Tapi ada paradoks di sini. Bagi yang mati ,maut barangkali adalah bahagia.  Tapi tidak bagi mereka yang ditinggalkan. Konon, ketika dilahirkan kedunia, bayi menangis merengek,  sementara keluarganya menyambutnya dengan penuh bahagia.  Sedangkan ketika sedang sekarat sebagaimana kisah pendekar wanita di atas, dia justru tersenyum bahagia, sementara keluarga  yang ditinggalkan justru menangis karena merasa kehilangan orang yang dicintai.  Menurut tafsiran riwayat itu, bayi yang  menangis kala dilahirkan adalah ekspresi ketaksanggupannya memikul amanah sebagai dutaTuhan (khalifah). Sedangkan ketika sekarat, dia tersenyum karena percaya akan kepastian janji karena amanah sebagai duta Tuhan, tuntas dijalankannya.

Maut sebagaimana literature semua agama dan kepercayaan adalah semata siklus  metamorphosis. Kita memang mesti melewati semua fase alam yang disediakan-Nya untuk berproses menemukan jati diri kita yang paripurna.Dalam tradisi kredo Ibrahimi (monoteisme: Yahudi, Kristiani, dan Islami) misalnya, kehidupan berawal dari alam arwah (ruhTuhan), alar mahim (kandungan ibu),alam sahadah (dunia), alam barza (penantian kubur), alam akhirat (pertimbangan amal) hingga mencapai fana (lebur)-yang dalam agama Budha disebut moksa atau kembali ke asal-Nya. Di garis finish ini kita mencapai nirvana (Nir:  meniadakan/menihilkan. Vana: lebur agar menjadi sempurna), mencapai purnabakti.

Bahkan Imam al-Gazhali pernah mengatakan, justru melalui kematian, cinta terbesar Tuhan tercurahkan kepada manusia. Dengan begini Tuhan dapat mencintai hamba-Nya lebih dalam lagi. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan cinta-Nya bila kematian selalu dianggap sebagai momok?
Mors est quies viatoris, finis est omnis laboris: kematian adalah istirahat musafir, akhir segala jerih payah.

Maka pesan kitab suci yang mengingatkan, bila diuji dengan musibah-termasuk kematian, maka ingatlah bahwa asal kita dari-Nya, dan kita akan kembali kepada-Nya. Disini, kita diberi setitik pengharapan bahwa maut tak akan pernah mengakhiri. Segalanya memang mesti kembali kepada-Nya untuk mendapat cinta-Nya, juga menjadi purna. (**)


Neraka, sejatinya adalah surga yang dilihat dari sisi yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar