Rabu, 04 Desember 2013

Identitas Diri dan Jati Diri Kita

elisabethhilda.blogspot.com

Oleh Hamba Moehammad

Lihatlah betapa hari ini kita begitu mengagung-agungkan tuhan, adat dan hukum yg lain, sedangkan apa yang nenek moyang kita berikan, kita tinggalkan. Adakah rasa rendah diri sudah sedemikian akut sehingga kita buta melihat kearifan dan budaya kita sendiri? Ataukah mental terjajah dan inferior masih betah hinggap dikepala kita?


Tak perlu jauh-jauh; betapa kita melihat hari ini selera makan kita, selera berbusana kita, selera musik kita, bahkan selera beribadah kita hanya mengekor pada selera luar yang masuk dan menjajah kita. . Ketika berbelanja, kita lebih memilih membeli di indomart, hypermart, alphamart dan sejenisnya. Meski yang mau dibeli itu mie instan. Ketika hendak makan, kita lebih memilih makan di restoran cepat saji, padahal warung coto dan konro, sop saudara bertebaran.

Ketika hendak mendengar musik, dengan bangganya kita lebih menggemari aliran musik yang menghentak dan memekakan telinga yang diimpor dari luar negeri. Sedangkan aliran musik daerah dengan menggunakan instrumen jimbe, kecapi, sasando, gambus, rebana, mendolin, angklung, dan sebagainya kita anggap kolot.

Kearifan lokal kita ganti dengan standar moral kepantasan manusia moderen. Kebijakan pemerintah dalam negeri menjiplak negara lain. Menjadi hal yang lumrah ketika kita mendengar teriakkan, agama itu urusan pribadi kita dengan Tuhan dan tidak boleh dibawa-bawa ke ranah publik. Maka tak heran bila marak terjadi penyalahgunaan wewenang, korupsi, penipuan yang dilakukan oleh pejabat publik. Ini karena Tuhan tak mereka bawa ke kantor mereka, agama tak mereka bawa ke tempat kerja mereka sehingga keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan ajaran Tuhan.

Kita menjadi generasi fotokopi. Ketika di sekolah, kita hanya diajarkan dan dibiasakan untuk memfotokopi ide dan gagasan orang. Ketika kuliah, kita malah memilih jurusan yang menjadikan kita menjadi ahli fotokopi. Dan ketika kita lulus, kita menyandang predikat tukang fotokopi terbaik dan berhak mendapat gelar Sarjana Fotokopi. Pada tataran yang lebih tinggi dan kompleks, sistem yang kita anut pun semuanya hasil fotokopi (kalau enggan mengatakan hasil rampokan) dari luar.

Mereka bilang adat nenek moyang kita sudah ketinggalan zaman. Mereka berkata begitu karena mereka tak mengenal dengan baik kearifannya. Sepertinya mereka harus mendefinisikan kembali apa itu kearifan lokal sebelum mereka benar-benar menjadi orang lain, menjadi boneka, menjadi kerbau yang dicocor hidung untuk mengabdi kepada kepentingan yang bernama "asing" itu.

Teringat sebuah status facebook dari Jenar Valdano Kleden. Dia menulis begini:

Tuhanku adalah semesta alamku
agamaku adalah adat istiadatku
hukum yang mengikatku adalah hukum nenek moyangku
itu semua yang menghidupkanku.(**)

Makassar, 4 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar