Selasa, 12 Maret 2013

Andai Tuhan Jadi Menteri Agama


Andai Tuhan Jadi Menteri Agama

Oleh : Muhammad Baran

Bicara soal agama, saya jadi teringat pernah baca entah dimana dialog antara suami-istri;
Istri : Kalau Tuhan jadi menteri agama, hidup jadi tenang kali ya Pak?
Suami : Tuhan itu kan tak beragama. Manusianya saja yang mencipta-ciptakan agama.

Dialog di atas mungkin adalah sentilan atas realita perilaku hidup beragama kita. Hidup yang tak sepenuhnya dinikmati dengan kebersamaan sembari berpejam mata. Kebersamaan yang dengannya semangat toleransi dirajut dengan benang-benang kasih sayang kepada sesama.

Di tengah gejolak perbedaan-apapun jenis dan bentuk perbedaan-yang kerap mengusik ketentraman bersama,  agama semestinya hadir menjadi penengah, melakukan langkah rekonsiliasi, dan upaya menyatukan aneka beda dalam sebuah bingkai kebersamaan. Beda yang yang kerap dijadikan  dalih bahwa sesuatu yang berbeda selamanya tak bisa menyatu dengan beda yang lain untuk menjadi ornanamen indah sebuah bingkai lukisan kebersamaan.

Sayangnya agama kini hanya dijadikan benteng dan tombak. Dijadikan benteng sebagai tameng membela dan mempertahankan kebenaran sekterian (kolompok). Dijadikan tombak dikala iman dan sariat agama diklaim sebagai otoritas kelompoknya, yang tak boleh diganggu gugat oleh kelompok lain. Mereka yang tak diberi mandat Tuhan untuk menafsirkan hukum, haram memberi fatwa.

Di sini, ada ironi. Agama tak ditampakkan dengan wajah yang anggun penuh pesona, penuh damai. Agama  malah ditampakkan dengan wajah yang teramat angker, ganas dan bengis untuk menakut-nakuti mereka yang dianggap tak loyal, tak legawa,  terhadap tafsiran mereka yang merasa mamanggul mandat Tuhan itu.  Agama juga hanya menjadi tameng dikala terdesak, kalah oleh tafsiran kelompok lain  yang dianggap mengancam eksistensi mereka.

Sampai di sini-sengaja atau tidak-ketika agama hanya dijadikan alat  bedah melakukan malpraktik kebenaran, selamanya agama tak mampu menjalankan fungsi-fungsinya. Akibatnya, serta merta nilai-nilai agama dijauhi. Maka jangan heran bila apapun tafsiran  yang disodorkan agama, akan diacuhkan. Toh agama hanyalah jalan menuju Tuhan yang sama kita imani.

Sekiranya agama tak lagi menjadi pilihan jalan, atau cenderung diabaikan, bukan berarti agama tak lagi Up to date dengan perkembangan zaman. Hanya mungkin pesan moral agama tak cukup optimal di dakwahkan dan diaplikasikan dengan semestinya sebagai mana yang diinginkan Tuhan. Jika demikian, bila ada yang tak lagi setia menjalankan ajaran agama, tak pula berarti seseorang telah menjadi atheis, menjadi kafir. Ateis atau kafir, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

Di sini-sekali lagi- beragama bukanlah monopoli tafsir para pakar hukum. Di sini pula, beragama-menurut Nabi Suci Yesus, berarti bagaimana kita menghayati hidup yang sepenuh-penuhnya diciptakan Tuhan dengan segenap cinta kasih. Inilah tujuan dari beragama, agar kita yang mengaku sebagai hamba Tuhan, mampu menjalankan amanat Tuhan sebagai rahmat bagi semesta.

Bukan justru menjadi manusia terlaknat dan bukan pula-sebagaimana  istilah agama- menjadi manusia yangfasik-tahu dan ahli akan pesan moral hukum (termasuk hukum agama) namun tak becus dalam aplikasi. Satu lagi hal yang tak boleh terlupa, selama di hati iman tak guyah,  di sana pula selamanya Tuhan bertahta. (**)

0 komentar:

Posting Komentar